EMILIANA KOPA, MENJAGA TENUN, MERAWAT BENA (1)
SEJAK 2011, Emiliana Kopa dipilih sebagai pengurus pengelola kampung wisata Bena. Selain mengurus perkampungan megalitik yang menjadi salah satu tujuan wisata di Flores ini, ia juga memberi pemahaman kepada para perempuan di Kampung Bena untuk menenun dengan bahan pewarna alam.
Menenun bagi perempuan di Bena, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, adalah kebiasaan sekaligus pekerjaan yang sudah mereka kenal sejak anak-anak. Menenun juga menjadi ”keharusan” bagi mereka.
Kain tenunan para mama, sebutan ibu di Flores, selain digunakan untuk keperluan sehari-hari, juga menjadi pakaian resmi dalam upacara adat. Bahkan, bagi para mama di Bena, menenun sarung dan selendang juga berarti menopang ekonomi keluarga.
Umumnya kepala keluarga di Bena menjadi petani. Hasil kebun mereka, seperti kakao, kayu manis, dan kemiri, relatif tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, selain mengurus rumah tangga, para mama menenun kain untuk dijual.
Di sisi lain, kepraktisan dan persaingan harga membuat mereka memakai bahan pewarna kimia. Padahal, pewarna kimia tak ramah lingkungan. ”Waktu dan tenaga yang digunakan untuk menenun hampir sama, tetapi hasilnya berbeda,” kata Mama Emi, panggilan Emiliana Kopa (44).
Jika mereka memakai pewarna kimia, selendang dijual dengan harga Rp 150.000. Namun, dengan pewarna alam, proses mewarnai lebih lama dan sulit. Mereka juga harus mengumpulkan bahan pembuat warna sampai ke hutan sehingga harga jual menjadi Rp 400.000.
Namun, mengingat dampak pada lingkungan, Emi memilih pewarna alam. Ia memotivasi para mama di Bena agar memakai pewarna alam. Didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Swisscontact, pada 2011 Emi belajar mengolah pewarna alam selama enam bulan, misalnya biru dari daun nila, merah dari mengkudu, dan kuning dari kunyit. Sayangnya, pewarna alam yang ia ramu membuat kain tenun luntur.
Tak punya cukup uang untuk kembali belajar meramu pewarna alam, Emi bertanya pada ibundanya. Dibantu Yoseph Boko, suaminya, Emi berusaha mendapatkan daun, batang, dan akar di hutan, lalu meramunya sesuai petunjuk sang bunda. Dia juga bereksperimen untuk menghasilkan warna yang berbeda dengan menggunakan kulit pohon nangka atau kulit pohon mangga untuk mendapatkan gradasi warna berbeda.
Setelah berhasil mendapatkan formula pewarna alam, Emi membagi pengetahuannya kepada sesama petenun di Bena yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Sebagai pengurus pengelolaan Kampung Bena, dia memanfaatkan waktu pertemuan dengan warga untuk memotivasi petenun me)makai pewarna alam. Alhasil pendapatan para mama dari menenun bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. (kompas/bersambung)
)