EMILIANA KOPA, MENJAGA TENUN, MERAWAT BENA (2-TERAKHIR)
Di Bena, perempuan memegang peranan penting, baik dalam keluarga maupun masyarakat (matriarkat). Menurut Emi, secara turun-temurun warga berusaha melestarikan kampung Bena. Namun, pendidikan dan pentingnya sanitasi bagi kesehatan warga perlu ditingkatkan.
Apalagi sebagai salah satu tujuan wisata di Flores, Kampung Bena setiap tahun didatangi 24.000-25.000 wisatawan. Dibantu pengurus kampung lainnya, Emi berusaha memberi contoh pentingnya sanitasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mencuci tangan dan hanya mengonsumsi air minum yang dimasak.
Tahun 2011, dia mendirikan semacam toko suvenir Kampung Bena. Harapannya, hasil kerajinan tangan warga Bena bisa dipasarkan dengan standar harga sama. Namun, toko itu tak bertahan karena tak semua warga mau menitipkan hasil karyanya di sini.
”Perbedaan harga sering menimbulkan masalah meski sebelumnya kami sudah sepakat. Harga selendang, misalnya, Rp 400.000. Namun, karena kebutuhan mendesak, ada petenun yang menjual selendangnya di bawah harga standar,” ceritanya.
Padahal, di kalangan turis asing, masalah harga bisa sensitif. Mereka merasa ditipu saat tahu ada turis lain yang membeli suvenir dengan harga lebih murah.
”Tamu jadi marah karena merasa dibohongi. Harus muncul kesadaran di antara warga tentang pentingnya standar harga yang sama. Di sisi lain, saya bisa memaklumi, setiap keluarga punya keperluan mendesak.”
Tahun 2015, Emi bergabung menjadi ibu inspirasi yang dikelola LSM Kopernik. Kopernik membantu warga lewat pengadaan teknologi tepat guna dengan melibatkan para mama. Misalnya, kompor ramah lingkungan sebagai pengganti tungku kayu, saringan air bersih, dan lampu tenaga surya.
”Di sini listrik sering mati, dan masih banyak warga yang memasak dengan tungku kayu,” kata Emi. Awalnya dia membeli kompor ramah lingkungan dan lampu tenaga surya. Hasilnya, pengeluaran rumah tangga lebih hemat, Emi pun punya lebih banyak waktu untuk menenun.
”Kalau biasanya sekali memasak saya menghabiskan sepikul kayu, dengan kompor ramah lingkungan bisa untuk satu minggu,” ujar Emi yang bisa menenun lebih lama di malam hari dengan lampu tenaga surya. Dia menggunakan dan merasakan manfaat alat teknologi tepat guna itu, sebelum kemudian memperkenalkannya kepada warga Bena.
Awalnya, setiap hari Kamis, hari pasaran di Jerebuu, saat banyak warga berkumpul, dia melakukan demo penggunaan alat teknologi tepat guna tersebut.
”Di sini kami tidak bisa hanya menyebarkan brosur. Orang harus melihat sendiri bagaimana alat itu bekerja,” kata Emi yang juga menggunakan saringan air untuk air minum sehingga tak perlu lagi memasak air.
Terbakar
Menjalani periode kedua sebagai pengurus pengelolaan Kampung Bena, sejak September 2013 Emi dan keluarganya tak lagi memiliki rumah adat. Saat dia tengah menemani anak keduanya yang demam di rumah sakit, rumahnya terbakar.
”Saya pulang rumah itu tinggal tumpukan arang,” ucap Emi tentang rumah panggung berlantai kayu dan beratap alang-alang yang ditinggali keluarganya turun-temurun. Padahal, bagi warga Bena, rumah adat adalah simbol perlindungan dan keberlangsungan hidup berkeluarga.
Tanduk kerbau yang disusun di depan rumah dan lukisan kuda mengingatkan mereka agar hidup bergotong royong dan bekerja keras. Darah kerbau yang disembelih dioleskan di tiang ngadu, rumah kecil yang menunjukkan simbol leluhur lelaki. Sementara simbol leluhur perempuan disebut bhaga.
Tanpa rumah adat keluarga, Emi menanggung rasa malu. Seiring berjalannya waktu, dia belum juga mampu membangun kembali rumah keluarga. Biaya pembangunan rumah adat mencapai Rp 482 juta karena harus melalui ritual tertentu.
Selain semua material seperti bambu, kayu dan alang-alang sudah tersedia, ada berbagai ritual pada proses pembangunan rumah adat yang dibangun secara gotong royong selama 2 bulan 32 hari. Dia juga harus menyediakan puluhan ternak selama proses pembangunan berlangsung. (kompas/terakhir)