SAAT DI ENDE, BUNG KARNO MELUKIS PURA (6)
FLOBAMORA DEWATA (DENPASAR). Ada bagian-bagian yang begitu kelam dalam kehidupan Sukarno saat menjalani pembuangan di Ende. Pada dasarnya, Sukarno adalah sosok yang gemar bergaul, senang dikerumuni sahabat. Sementara, sebagai orang buangan ia dijauhi penduduk setempat. Terlebih, Belanda terus saja mempengaruhi penduduk lokal, dan menanamkan stigma bahwa Sukarno orang yang berbahaya. Mendekati Sukarno, sama artinya dengan mendekati persoalan.
Tak jarang, Sukarno membunuh sepi dengan duduk berjam-jam di bawah pohon keluwih yang langsung menghadap pantai. Ia bisa berjam-jam menatap debur ombak yang bergulung-gulung tiada henti. Kenikmatan menatap ombak menciumi bibir pantai, menjadi terusik manaka datang kucing-kucing bercengkerama di dekatnya. Kalau sudah begitu, Sukarno akan pergi, dan mempersilakan kucing-kucing kampung bermain di bawah pohon keluwih.
Di waktu yang lain, Sukarno membenamkan diri dalam keasyikan melukis. Seperti catatan hidupnya terdahulu, Sukarno adalah siswa HBS Surabaya yang menonjol dalam mata pelajaran menggambar. Meski begitu, nilainya tidak pernah lebih tinggi daripada murid Belanda.
Sewaktu kuliah teknik di Bandung, Sukarno juga mendapat pelajaran melukis dari dosen Wolff Schoemaker. Sebagai insinyur sipil pun, Sukarno sangat kuat dalam menggambar rancang bangun sipil. Perspektifnya sempurna, selera seninya klasik.
Di Ende, setelah sekian lama tidak pernah lagi menggambar, ia mulai dengan mencorat-coret sketsa dengan pensil. Tak perlu waktu lama bagi Sukarno untuk menyatukan cipta dan karsa melalui sapuan kuas. Dari pensil, ia beralih ke cat air. Dari cat air, Sukarno membeli kanvas dan melukis dengan cat minyak. Sukarno pun menemukan satu keasyikan tersendiri dalam melewati hari-hari tak pasti sebagai seorang buangan.
Foto di atas adalah salah satu lukisan karya Bung Karno, yang ia lukis di Ende. Sampai hari ini lukisan itu masih tersimpan rapi di museum kecil yang terletak di depan situs eks rumah pembuangan Sukarno.
Menikmati karya tangan Sukarno hari ini, lantas melambungkan imaji ke Flores tahun 1934 – 1938, terbayang nuansa kesepian seorang Sukarno…. Kita seolah dibawa ke pemandangan sephia, seorang Sukarno sedang tekun melukis objek sebuah ritual umat Hindu di pura Bali. Debur ombak, terdengar samar. (Bersambung/Roso Daras)